
Anak muda banyak yang merasa masa depan mereka “dirampas” oleh generasi sebelumnya
SEJAK kebelakangan ini pelbagai kejadian seperti pergaduhan dan kemalangan jalan raya semakin meningkat dan paling menyedihkan apabila seorang wanita mengandung yang tercampak dari kereta kelihatan dengan sengaja dilanggar sebuah kereta lain.
Kecanggihan CCTV dan kamera dalam kenderaan memboleh ia dipaparkan kepada masyarakat dan ini sangat mengejutkan banyak pihak bagaimana teruknya masyarakat kini dewasa ini. Itu belum lagi pertelingkahan isu yang melibatkan sensiviti kaum serta agama.
Kebanyak insiden itu melibatkan anak muda yang merasakan masa hadapan mereka telah dirampas oleh generasi sebelumnya. Selain mereka terdedah dengan pelbagai budaya dan cara hidup global melalui media sosial turut memberi tekanan yang tidak sepatutnya.
Iya, itu perasaan yang sangat nyata dan semakin banyak dirasakan oleh generasi muda sekarang—terutama Gen Z dan milenial muda. Banyak dari mereka merasa lahir dalam situasi yang “already broken”, di mana keputusan dan gaya hidup generasi sebelumnya meninggalkan dampak besar yang sulit mereka perbaiki.
Berikut beberapa alasan kenapa muncul perasaan bahwa masa depan mereka “dirampas”. Generasi sebelumnya membangun dunia yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil, deforestasi, dan produksi massal. Sekarang, anak muda menghadapi cuaca ekstrem, kebakaran hutan, kekeringan, dan banjir.
Ini menimbulkan rasa takut bahawa dunia ini mungkin tidak layak dihuni dalam beberapa dekad ke depan, dan ia menjadi beban moral untuk menyelamatkan bumi yang sudah rosak.
Krisis ekonomi dan masalah sosial turut mempengaruh sikap masyarakat. Harga rumah melonjak jika dibandingkan generasi sebelumnya mampu membeli rumah pada usia 25, sekarang pada usia 35 pun masih menyewa rumah.
Gaji yang pegun, pada masa yang sama dibebani kos sara hidup yang tinggi, inflasi semakin parah akibat perang ekonomi global dan pada masa yang sama kos pendidikan semakin mahal tetapi tidak mampu menyediakan peluang pekerjaan yang setimpal dan ini menyebabkan anak muda merasa kerja keras sahaja tidak cukup untuk hidup selayaknya.
Ini akhirnya menyebabkan terjejasnya kesihatan mental akibat tuntutan hidup yang semakin kompleks, tekanan dari media sosial dan budaya performa dan pada masa yang sama akses terapi atau layanan kesihatan mental makin mahal dan terbatas.
Banyak keputusan adalah berasaskan politik dan ekonomi didominasi oleh generasi tua yang dianggap tidak peka terhadap cabaran zaman sekarang. Dasar yang dibuat terasa lebih pro-status quo dan tidak memikirkan masa depan jangka panjang.
Perubahan teknologi juga menyebabkan suasana ketidakpastian pekerjaan kerana segalanya sudah di automasi dan AI, sekaligus mengancam banyak pekerjaan konvensional. Dunia pekerjaan semakin fleksibel, tetapi menjadi tidak menentu kerana tiada tawaran kerja tetap semuanya sebatas kontrak dan sambilan yang mudah menyebabkan anak-anak mudah “burnout”.
Meski begitu, banyak anak muda juga yang bangkit, aktif bersuara, bikin gerakan, dan menciptakan solusi sendiri. Dari aktivisme lingkungan, gerakan sosial, sampai startup sosial—generasi ini punya energi besar buat berjuang walau merasa diberi “starting point” yang sulit.